1. Tjoet Nja’ Dhien (1988)
Film ini diambil dari kisah nyata perjuangan rakyat Aceh melawan penjajahan kolonial Belanda pada tahun 1873-1908. Film yang di sutradarai Eros Djarot ini membutuh waktu 2 tahun untuk diselesaikan. Pemeran Utamanya Cristine Hakim langsung melegenda gara-gara film ini. Tak cuma Christine saja yang serba bagus di film ini. Filmnya sendiri, sebagai sebuah kesatuan karya sinema, nyaris tanpa cacat (diganjar 8 Piala Citra di FFI 1988). Tjoet Nja’ Dhien tak hanya berisi biografi tentang pahlawan dari tanah rencong itu tapi juga berisi drama, kesetiaan para pejuang membela tanah airnya, kebesaran jiwa sampai penghianatan. Tak aneh rasanya kalau Tjoet Nja’ Dhien merupakan puncak pencapaian dunia perfilman kita yang belum terlewati hingga kini.
Bagi yang belum nonton , nih saya berikan link download film Tjoet nja' dhien : CD1 , CD2.
Bagi yang belum nonton , nih saya berikan link download film Tjoet nja' dhien : CD1 , CD2.
2. Laskar Pelangi (2008)
Film ini diadaptasi dari sebuah novel fenomenal karya Andrea Hirata yang bercerita tentang hari pertama pembukaan kelas baru di sekolah SD Muhammadyah. Hingga Maret 2009, Laskar Pelangi telah ditonton oleh 4,6 juta orang. Themesongnya (by Nidji) pun sampai sekarang masih menjadi Lagu yang laris di Indonesia. Dan saya pastikan semua teman-teman sudah menonton film ini. Bagi yang mau download film Laskar Pelangi silahkan klik disini.
3. Naga Bonar (1986)
Lewat Naga Bonar, Asrul Sani lagi-lagi membuktikan bakat besarnya sebagai salah satu penulis cerita terbaik yang pernah dipunyai negeri ini. Asrul piawai menghadirkan dialog yang memicu tawa, yang begitu dipikir lebih dalam ternyata mengandung makna luhur. Naga Bonar hadir buat berkelakar. Namun, ia tak berkelakar sembarangan. Yang jadi bahan kelakar justru pejuang negeri saat perang kemerdekaan berlangsung. Naga Bonar menyindir pemujaan pada para pahlawan. Film ini berpesan, tak semua pejuang di masa lampau itu punya niat suci membela negeri. Ada yang cuma bisa bicara saja. Nah, Jenderal Naga Bonar (diperankan dengan gemilang oleh Deddy Mizwar) pun aslinya pencopet. Tapi dari sosok inilah kemurnian perjuangan lahir. Sebagai karya sinema, Naga Bonar tampil lengkap, berisi sekaligus menghibur; tergarap dengan baik, tanpa cacat cela. Pantas rasanya bila film ini memborong 7 Piala Citra di FI 1987. Saya sendiri belum menonton film ini, heheh !
4. Ada Apa dengan Cinta? (2001)
Ada Apa dengan Cinta? (AAdC?) jadi salah satu film penting negeri ini. Melahirkan tren yang sudah lama hilang dari jagad sinema kita: film bertema remaja. Selepas AAdC? lahir film-film bertema sejenis. Tren itu juga merambah ke teve. Sejak AAdC?, datang berduyun-duyun sinetron bertema remaja. Rasanya, sejak Gita Cinta dari SMA (1979) dulu baru ada lagi film Indonesia yang begitu digandrungi remaja. AAdC? tak kurang ditonton sekitar 2,7 juta orang di bioskop. Kalau dulu Gita Cinta dari SMA melahirkan sosok Galih dan Ratna, AAdC? punya Rangga (Nicholas Saputra) dan Cinta (Dian Sastrowardoyo). AAdC? lebih unggul di atas Gita Cinta lantaran kisahnya yang kompleks -- tak cuma kisah kasih Rangga dan Cinta. Ada dilema antara persahabatan dan cinta, hingga niatan buat mencintai karya sastra (siapa yang bisa lupa kalau berkat film ini, buku langka berjudul Aku dicari, lalu dicetak ulang, dan laris manis). Selain itu, di lihat sebagai karya sinema, AAdC? juga lebih manis. Rudi Soedjarwo, sang sutradara, begitu lancar bertutur (Rudi dapat Piala Citra di FFI 2004).
5. Kejarlah Daku Kau Kutangkap (1985)
Pasti kebanyakan dari teman-teman belum menonton film ini , pastilah karena film ini ngebom saat anda belum dilahirkan hahaha ! Film baik tak lekang dimakan zaman. Bertahun-tahun selewat peredarannya, film itu masih asyik buat ditonton. Nah, Kejarlah Daku Kau Kutangkap tipe film seperti itu. Penonton tak sekadar diajak tergelak. Semua ini berawal dari skenario cerdas yang dibuat Asrul Sani, pengarahan kuat dari Chaerul Umam, sang sutradara, yang digenapi akting prima dari Deddy Mizwar, Lydia Kandou, Ully Artha, dan Ikranegara. Hasilnya, film ini layak ditasbihkan sebagai situasi komedi terbaik yang pernah dihasilkan sineas kita. Asrul berhasil membuat kelakar jenius tentang hubungan pria dan wanita. Dalam film ada hubungan Ramadhan (Deddy) dan Mona (Lydia) yang berkisar antara cinta dan benci, cinta dan gengsi, hingga cinta akhirnya mengalahkan segalanya.
Soe Hok Gie, aktivis mahasiswa 1960-an, telah jadi sosok bak pahlawan. Pandangan dan kisah hidupnya memikat Mira Lesmana dan Riri Riza, pemilik Miles Productions. Keduanya lantas menggagas buat mengangkat kisah hidup Gie ke layar lebar. Hasilnya jadilah Gie. Aktor ganteng Nicholas Saputra didapuk memerankan Soe Hok Gie. Tentu tampang Nico yang ganteng tak mirip Gie asli, akan tetapi ia bisa berakting (buktinya Nico diganjar FFI 2005 buat aktor terbaik). Selain itu, film ini punya gagasan lebih besar dari sekadar mengisahkan kisah hidup sosok Gie. Yakni bagaimana seorang yang ikut berjuang menumbangkan rezim korup, malah menemukan rezim korup baru. Teman-temannya semasa aktivis juga ikutan korup. Gie jadi sosok kesepian. Sebuah gagasan yang mengingatkan kita pada mahakarya Usmar Ismail, Lewat Djam Malam (1954).
Badai Pasti Berlalu jadi film Teguh Karya yang paling laris ditonton. Tak kurang, saat beredar dulu, film ini masuk urutan kedua film terlaris 1978 (ditonton 212.551 orang). Padahal buat Teguh sendiri, ia terpaksa membuat film itu. “... ingin nafas, dan balas budi dari film-film terdahulu yang kurang laku. Selain saya ingin memvisualkan sebuah novel ke dalam bahasa visual,” ujarnya seperti dimuat Pikiran Rakyat pada 1978. Badai Pasti Berlalu memang diangkat dari novel pop. Hasilnya, ya film pop. Sebelum diangkat jadi film, kisahnya memang sudah populer duluan saat dimuat bersambung oleh Kompas dan kemudian dinovelkan. Hingga saat difilmkan, orang tentu ingin menontonnya. Apalagi yang membuatnya Teguh Karya, sutradara yang piawai membuat film-film bermutu. Selain itu, yang membuat Badai Pasti Berlalu dikenang juga lantaran tata musik berikut lagu temanya yang digubah Eros Djarot. Lagu temanya abadi hingga kini.
Ibunda boleh dibilang puncak pencapaian Teguh Karya atas persoalan sehari-hari. Usai berpeluh mengangkat tema besar seperti nasionalisme dalam November 1828 atau Doea Tanda Mata, Teguh seolah kembali ke bumi, mengangkat tema yang bisa saja dialami orang kebanyakan. Ibunda punya cerita sederhana. Seputar kisah seorang ibu (Tuti Indra Malaon) yang menemukan anak-anaknya disesaki masalah pelik masing-masing. Selain ceritanya sederhana, Ibunda tampil dengan dialog wajar, pas, dan, dalam bahasa Salim Said, "tanpa tanda seru yang meminta perhatian." Tapi di sinilah justru letak keunggulan Ibunda. Salim melengkapi pujiannya atas Ibunda dengan, "cerita yang baik, skenario yang bagus, dan penyutradaraan yang teliti telah menemukan bentuknya lewat pemain yang tampil sempurna."
Untuk ukuran tahun 2000-an sekarang, Arisan! paling tepat ditunjuk sebagai film yang menelanjangi kehidupan di zamannya. Tanpa tedeng aling-aling, Arisan! menampilkan problematika hidup kaum borjuis Jakarta. Ada perselingkuhan, dilema cinta sesama jenis, hingga upaya mempertahankan nilai-nilai keluarga. Semuanya campur-aduk dalam balutan komedi segar. Kepiawaian sang sutradara, Nia DiNata, menggarap realitas ini mengingatkan kita pada kemampuan senada yang dimiliki sutradara besar lain macam Sjuman Djaya atau Asrul Sani. Nia tak cuma menghibur, ia juga mengajak penonton untuk jujur pada diri sendiri. Pesannya jelas, kehidupan kaum jetset Jakarta dipenuhi topeng alias kemunafikan. Arisan! juga jadi darah segar saat perfilman kita yang bangkit lagi dipenuhi film remaja dan horor. Di luar itu, Arisan! yang jadi film terbaik FFI 2004 ini juga melahirkan bintang baru. Tora Sudiro (pemeran Sakti yang gay) namanya.
Saat karya sastra diangkat ke layar lebar—di antaranya Salah Asuhan (1972)—Sjuman Djaya memilih mengadaptasi novel Aman Datoek Madjoindo berjudul Si Doel Anak Betawi. Ini cerita seputar suka-duka kehidupan Doel, seorang anak Betawi asli. Doel diperani Rano Karno saat masih kecil. Suka duka kehidupan Doel yang mencari figur ayah (setelah ditinggal mati ayahnya), melawan kerasnya hidup (ia harus membantu ibunya berjualan kue buat menyambung hidup), sampai menghadapi tekanan anak-anak nakal terekam baik.
Itulah 10 film Indonesia terbaik sepanjang zaman, bangsa ini merindukan film-film fenomenal seperti itu tidak seperti sekarang dimana film-film indonesia kebanyakan hanya mempertontonkan tubuh wanita yang seksi dibalut dengan cerita horor atau percintaan. Semoga bermanfaat.
~Ismurajab~
Sumber : Di simpulkan dari berbagai sumber.
0 komentar:
Posting Komentar